Drama Politik Prancis, Jfyemen.com, Indonesia – Politik Prancis kembali menjadi sorotan dunia setelah Perdana Menteri Gabriel Attal memutuskan untuk mengundurkan diri, hanya untuk kembali ditunjuk lagi empat hari kemudian oleh Presiden Emmanuel Macron. Peristiwa langka ini bukan sekadar pergantian jabatan — melainkan simbol dari keguncangan politik yang melanda salah satu negara paling berpengaruh di Eropa.
Drama Politik Prancis, Menurut laporan DetikNews (10 Oktober 2025), pengunduran diri Attal dilakukan setelah koalisi yang mendukung Macron gagal mendapatkan mayoritas dalam pemilu legislatif. Namun, setelah negosiasi intensif di Istana Élysée, Macron meminta Attal untuk kembali menjabat, dengan alasan menjaga kontinuitas pemerintahan dan mencegah kekosongan kepemimpinan.Drama Politik PrancisMenurut laporan DetikNews (10 Oktober 2025), pengunduran diri Attal dilakukan setelah koalisi yang mendukung Macron gagal mendapatkan mayoritas dalam pemilu legislatif. Namun, setelah negosiasi intensif di Istana Élysée, Macron meminta Attal untuk kembali menjabat, dengan alasan menjaga kontinuitas pemerintahan dan mencegah kekosongan kepemimpinan.
“Kita sedang melalui masa sulit. Saya tidak ingin menambah ketidakpastian,” ujar Macron dalam konferensi pers di Paris.

Latar Belakang Krisis Politik Prancis
Krisis politik yang menimpa Prancis bermula dari pemilu legislatif Drama Politik Prancis yang berlangsung pada akhir September 2025. Hasil pemilu memperlihatkan bahwa tidak ada satu partai pun yang berhasil meraih mayoritas mutlak, membuat parlemen terfragmentasi menjadi tiga blok besar:
- Koalisi tengah pimpinan Macron (Ensemble),
- Kelompok kiri Nouveau Front Populaire (NFP),
- Partai sayap kanan Rassemblement National (RN) pimpinan Marine Le Pen.
Fragmentasi ini membuat pemerintahan Macron kehilangan pijakan politik yang stabil. Gabriel Attal, yang saat itu menjabat perdana menteri sejak Januari 2024, menghadapi tekanan berat karena kesulitan membentuk kabinet baru yang mendapat dukungan mayoritas parlemen.
“Tanpa dukungan mayoritas, tidak ada pemerintahan yang bisa berjalan efektif,” kata Attal dalam pidato pengunduran dirinya di depan kantor perdana menteri.
Sosok Gabriel Attal: Perdana Menteri Termuda Prancis
Gabriel Attal bukanlah sosok biasa. Di usianya yang baru 35 tahun, ia menjadi perdana menteri termuda dalam sejarah Prancis modern.
Attal dikenal sebagai politisi cerdas, loyal terhadap Macron, dan memiliki reputasi sebagai komunikator yang handal. Sebelum menjabat sebagai perdana menteri, ia sempat menjadi Menteri Pendidikan Nasional, di mana ia mendorong reformasi kurikulum dan kebijakan disiplin sekolah yang tegas.
Namun di dunia politik yang keras, usia muda Attal sering kali dianggap sebagai kelemahan. Sejumlah partai oposisi menilai ia “kurang pengalaman” dalam menghadapi tekanan politik parlemen yang kompleks.
“Ia cerdas dan pekerja keras, tapi terlalu muda untuk menghadapi badai politik sebesar ini,” ujar analis politik Jean-Luc Mardet dalam wawancara di Le Monde.
Mengapa Attal Mengundurkan Diri?

Pengunduran diri Attal pada 6 Oktober 2025 bukan langkah spontan. Ia diketahui telah mengajukan surat pengunduran diri setelah gagal membentuk koalisi pemerintahan baru yang stabil.
Koalisi kiri dan kanan menolak bekerja sama dengan Ensemble, sehingga segala rencana pembentukan kabinet menemui jalan buntu.
Selain itu, tekanan publik juga semakin besar. Kebijakan ekonomi Macron yang pro-pasar dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil, terutama setelah kenaikan harga energi dan reformasi pensiun yang kontroversial.
Dalam kondisi politik yang penuh tekanan, Attal memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawab moral.
Namun langkah itu justru menciptakan vakum kekuasaan, dan pasar keuangan Prancis sempat bergejolak akibat ketidakpastian politik yang meningkat.
Macron Kembali Menunjuk Attal: Strategi Politik atau Keterpaksaan?
Empat hari setelah pengunduran diri Attal, Presiden Macron kembali mengundangnya ke Istana Élysée dan meminta ia kembali menjabat sebagai perdana menteri.
Banyak pengamat menilai keputusan ini bukan karena Macron tidak punya pilihan, tetapi karena tidak ada figur lain yang mampu mengonsolidasikan kekuatan politik di parlemen.
Macron sendiri berada dalam posisi sulit. Ia tidak dapat membubarkan parlemen karena baru saja usai pemilu, dan menunjuk perdana menteri baru dari oposisi bisa berisiko mengguncang stabilitas pemerintahan.
“Ini bukan tentang politik pribadi, tetapi tentang tanggung jawab kepada negara,” kata Attal setelah menerima kembali mandatnya.
Langkah Macron mengembalikan Attal dianggap pragmatis, meski juga menunjukkan lemahnya regenerasi politik dalam koalisi pemerintah.
Reaksi Publik dan Parlemen
Publik Prancis menyambut peristiwa ini dengan beragam pandangan.
Di satu sisi, sebagian warga merasa lega karena krisis pemerintahan tidak berkepanjangan. Namun banyak juga yang menilai Macron dan Attal hanya sedang “menambal krisis” tanpa solusi konkret.
Sementara di parlemen, oposisi mengecam langkah ini sebagai tindakan tidak demokratis.
Partai Rassemblement National bahkan menuduh Macron “bermain aman” dan menolak perubahan nyata.
“Negara ini butuh arah baru, bukan pemimpin lama dengan wajah yang sama,” ujar juru bicara RN di media nasional.
Namun beberapa analis menilai, dengan menahan Attal di kursi perdana menteri, Macron setidaknya mampu menenangkan pasar dan mitra Eropa, yang khawatir akan instabilitas politik di Paris.
Dampak Terhadap Stabilitas Politik Eropa
Krisis politik di Prancis memiliki efek domino di kawasan Eropa.
Sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar di Uni Eropa, ketidakpastian di Paris mempengaruhi nilai euro dan persepsi investor terhadap stabilitas kebijakan Eropa.
Selain itu, Prancis tengah menghadapi tekanan besar dari meningkatnya pengaruh sayap kanan populis, yang juga terlihat di Italia, Belanda, dan Jerman.
Kembalinya Attal dianggap sebagai usaha Macron menjaga “benteng liberal Eropa” agar tidak tumbang oleh gelombang politik konservatif yang sedang naik daun.
Tantangan Attal ke Depan
Tugas Gabriel Attal tidak mudah. Ia harus:
- Membangun koalisi lintas partai di parlemen,
- Menghadapi isu ekonomi nasional yang kompleks,
- Mengembalikan kepercayaan publik, dan
- Menyeimbangkan kebijakan Macron dengan tuntutan rakyat yang semakin kritis.
Khususnya, ia harus mencari cara agar kebijakan fiskal tetap disiplin tanpa memicu kemarahan sosial.
Pemerintah juga menghadapi tekanan dari serikat pekerja yang menuntut pembatalan reformasi pensiun dan peningkatan upah minimum.
Jika gagal menavigasi situasi ini, Attal berisiko menghadapi mosi tidak percaya yang dapat menggulingkan kabinetnya lebih cepat dari perkiraan.
Cermin Rapuhnya Demokrasi Prancis Modern
Krisis ini bukan peristiwa tunggal. Dalam dekade terakhir, Prancis berulang kali menghadapi pemerintahan minoritas dan protes sosial besar-besaran.
Dari gerakan Yellow Vests hingga reformasi pensiun 2023, semua menunjukkan ketidakharmonisan antara elite politik dan rakyat.
Peristiwa mundur-dan-ditunjuk-kembali ini menunjukkan bahwa sistem semi-presidensial Prancis kini sedang diuji.
Meskipun stabilitas jangka pendek bisa dicapai, akar permasalahan seperti ketidakpercayaan publik dan polarisasi politik tetap membayangi.
Kesimpulan
Drama politik Prancis kali ini lebih dari sekadar pergantian jabatan. Ia mencerminkan krisis kepercayaan dan fragmentasi politik di salah satu demokrasi tertua di dunia.
Macron mungkin berhasil mengembalikan Gabriel Attal ke kursi perdana menteri, tetapi tantangan besar tetap menanti: membangun kembali legitimasi politik, memperbaiki ekonomi, dan menjaga posisi Prancis di tengah guncangan geopolitik global.
“Stabilitas adalah hal yang rapuh — sekali retak, tidak mudah disatukan kembali,” tulis kolumnis politik Le Figaro dalam editorialnya.
Apakah langkah Macron mempertahankan Attal akan berhasil menstabilkan pemerintahan, atau justru menunda krisis berikutnya?
Jawabannya akan menentukan arah masa depan politik Prancis — dan mungkin, masa depan Eropa juga.